AL-QURAN SEBAGAI PARAMETER


Kedudukan Al Qur’an dalam keseluruhan ajaran Islam adalah jelas. Yang utama diantaranya adalah sebagai huda dan furqan, sebagaimana dinyatakan dalam Qs: 2, ayat 185:

“Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk  itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Al Furqan dikenal juga sebagai nama lain dari Al Qur’an. Kata ini dihubungkan dengan fungsi Al Qur’an yang membedakan antara yang haq dan batil. Kata pembeda juga mencakup pengertian sebagai parameter, karena membedakan bisa dilakukan setelah ada pengukuran. Maka Al Qur’an sebagai furqan diterapkan dalam berbagai hal. Dalam pengertiannya yang sangat dalam, kata furqan meliputi semua pemilahan antara haq dan batil. Tidak sebatas dalam koridor hukum formal saja, tetapi hingga tingkat kesejatian dan kesemuan realitas, seperti yang disiratkan dalam beberapa ayat, salah satunya adalah Qs. 6, 32:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”

Namun dalam penerapannya yang sederhana, Rasulullah membedakan derajat kepemimpinan seseorang terhadap yang lain dari banyaknya hafalan ayat-ayat Al Qur’an. Bila seseorang memiliki hafalan yang lebih banyak dari teman-temannya, maka Rasulullah mengangkatnya sebagai pemimpim bagi mereka. Demikian juga parameter dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi imam dalam sholat. Dalam hal ini, arti furqan tidak tinggal hanya berhenti di wacana saja, tetapi diaplikasikan dalam keseharian.

Pembedaan derajat keterpimpinan seseorang diukur dari kedekatannya terhadap Al Qur’an, karena terkait dengan fungsi lain dari Al Qur’an, yaitu huda, yang artinya adalah petunjuk. Secara sederhana diartikan bahwa bila seseorang telah belajar dan mengerti Al Qur’an, maka bisa dinilai ia telah mendapat petunjuk dari Al Qur’an. Dengan demikian layaklah kalau ia kemudian memiliki kapasitas sebagai pemimpin yang memberi petunjuk kepada yang lain.

Turunnya Al Qur’an kepada Rasulullah menandai kedatangan Islam. Kemudian semua ajaran yang ada dalam kitab tersebut dijabarkan dalam sunnah Rasul. Keseluruhan ajaran dari kedua sumber tersebut, yaitu Al Qur’an dan sunnah membentuk bangun dinul Islam. Islam kemudian disederhanakan oleh Rasul dalam 5 perkara yaitu dalam rukun Islam:

  1. Syahadatain
  2. Sholat
  3. Zakat
  4. Puasa
  5. Haji

Dalam 4 rukun, yaitu mulai dari 2 sampai 5, memiliki ibadahnya masing-masing. Sedang pada rukun pertama, tidak ada. Rukun pertama hanya diketahui cukup dinyatakan secara lisan saja. Bagaimana bila diseragamkan? Rukun ke 2 sampai ke 5 juga diberlakukan seperti rukun 1, dinyatakan secara lisan dan tidak disertai dengan ibadah? Kesaksian dinyatakan hanya secara lisan dan tidak perlu dilengkapi dengan ibadahnya? Tentu hal ini akan ditolak. Kesaksian yang tidak disertai dengan ibadah akan tertolak.

Tetapi apakah ibadah rukun 1? Jawabannya tidak lain adalah: iqra Al Qur’an. Ada beberapa argumen yang bisa dijadikan landasan kesimpulan ini. Pertama, bahwa sholat adalah tiang agama, sebagaimana dikatakan Rasul. Tiang akan berdiri tegak bila berada di atas pondasi. Tanpa pondasi, tiang akan sangat mudah rubuh. Bahkan bila ingin memperbesar dan mempertinggi tiang, butuh memperuat pondasinya terlebih dahulu. Namun apa pula pondasi agama? Karena sholat adalah rukun kedua, maka pondasinya tentunya adalah rukun pertama.

Kedua, bila kita perhatikan ayat 45 surat Al Ankabut, dinyatakan disini:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Di ayat ini, urutan perintah untuk membaca wahyu dinyatakan lebih awal dari menegakkan sholat. Urutan ini menandakan bahwa membaca kitab berada di rukun sebelum rukun sholat, yaitu rukun yang pertama, syahadatain. Sebagaimana juga dapat dianalogikan dengan ayat yang berisi perintah sholat dan menunaikan zakat. Urutan perintah sholat lebih dahulu dinyatakan, setelah itu perintah zakat. Salah satu ayat yang memuat hal terlihat di surat Al Baqarah ayat 110:

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

Bila iqra’  Al Qur’an adalah ibadahnya rukun pertama, maka kedudukannya sama dengan syahadatain. Syahadat dinyatakan, setidaknya, pertama sekali saat seseorang masuk Islam. Dengan mengucapkan syahadatain seseorang dinyatakan telah menjadi muslim. Demikian juga dengan iqra’ Al Qur’an, adalah juga sebagai indikator utama untuk menegaskan keislaman seseorang. Artinya indikasi keislaman seseorang tegas terlihat dari pola pikir dan perilakunya yang selalu berpegang pada ketentuan Al Qur’an dan sunnah. Hal ini dengan terang dan jelas akan membedakan seorang muslim dengan yang lain.

Paparan di atas setidaknya akan memperlihatkan arti penting mempelajari Al Qur’an, walau sudah banyak yang mengetahuinya. Tetapi penegasan ulang ini akan mengoreksi pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa mempelajari Al Qur’an bukanlah ketentuan fardu, tetapi hanya sunnah saja. Sikap ini sudah tentu membawa umat Islam menjadi kurang mempedulikan Al Qur’an, walau sering dikatakan sebagai pedoman hidupnya.

Adapun mengenal numerik Al Qur’an adalah bagian dari pembelajaran yang perlu untuk mengetahui kandungan makna Al Qur’an. Mengenal angka-angka Al Qur’an adalah dalam rangka agar dapat berpikir dan menyimpulkan maksud dari pesan-pesan ilahiah. Sebagai awal, sedikit akan disampaikan beberapa dari uraian numerik

Numerik Al Qur’an juga menghadirkan pengetahuan yang dapat mengarahkan seseorang untuk mengenal jati dirinya. Pengetahuan ini, masih berbentuk tipologi, namun akan memiliki prospek menjadi sebuah ilmu psikologi yang Qur’ani.

Selanjutnya, dua bagian, yaitu tentang numerik Al Qur’an dan tipologi 30 karakter dasar juz, disampaikan dalam lembar tersendiri.

Tinggalkan komentar